M. Sastrapratedja, Lima Gagasan Yang Dapat Mengubah Indonesia, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013, 413 hlm.

  • Franz Magnis-Suseno Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abstract

Lima gagasan yang dapat mengubah Indonesia itu tentu Pancasila. Sebagaimana ditulis Jakob Oetama dalam kata pengantar buku Profesor Sastrapratedja, sudah sangat mendesak untuk mengaktualisasikan kembali Pancasila. Pancasila sudah lama berada dalam bahaya, bukan karena masih ada kekuatan politik yang mempersoalkannya, melainkan karena dukungan terhadap Pancasila cenderung menguapkan maknanya. Di masa Demokrasi Terpimpin Pancasila semakin dikesampingkan oleh semboyan-semboyan lain di mana yang paling tragis adalah NASAKOM. Di masa Orde Baru Pancasila dinyatakan sakti dan sesudahnya jutaan saudara dan saudari sebangsa dibunuh,  dikucilkan, dan dihancurkan eksistensinya; Pancasila menjadi payung salah satu kejahatan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan kemudian, melalui manipulasi, seperti dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pancasila di-jawa-kan—dalam pidatonya di Pekanbaru Suharto mengatakan bahwa untuk memahami Pancasila orang perlu tahu falsafah honocaroko—dan dibonsai menjadi anjuran untuk bersikap baik-baik, bebas bertanggungjawab di bawah naungan pemerintah. Pancasila bonsai itu diindoktrinasikan melalui kursus-kursus BP7 kepada masyarakat. Maka waktu Suharto meninggalkan tahta kekuasaannya, Pancasila seakan sudah masuk kotak, orang sepertinya malu berbicara mengenai Pancasila. Panggung ideologis yang kosong segera mulai diisi oleh ideologi-ideologi picik-agamis-eksklusivis yang betul-betul mau membersihkan Indonesia dari sisa Pancasila. Maka pada 2006 AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyerukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Pancasila kembali dijadikan acuan akhir eksplisit segala kebijakan kenegaraan.

Karena itu, pemahaman kembali tentang arti Pancasila sangat mendesak. Itulah aktualitas buku Professor Sastrapratedja. Judulnya bukan sekedar kata keren. Sastrapratedja menunjukkan bahwa Pancasila bukan sebuah dokumen sejarah saja—seperti Declaration of Independence Amerika Serikat—atau sebuah pilar di atasnya bangsa Indonesia meneruskan perjalanannya. Sastrapratedja memperlihatkan bahwa Pancasila mempunyai gigi; artinya, Pancasila merupakan petunjuk tajam tentang kebijakan mana yang boleh dan tidak boleh diambil oleh negara yang mewujudkan bangsa Indonesia. Sastrapratedja menunjukkan dengan rinci bahwa kalau kita mengaku mendasarkan kehidupan bangsa pada lima sila Pancasila maka ada konsekuensinya. Ada kebijakan yang wajib diambil dan ada kebijakan yang wajib ditolak. Kalau negara kita mengikuti petunjuk Pancasila maka negara kita akan berubah.

Buku ini terdiri dari dua puluh tiga makalah yang ditulis penulis dalam lima belas tahun terakhir. Bentuk itu menguntungkan karena pembaca tidak perlu membaca 393 halaman teks ini dari permulaan sampai akhir. Daftar isi yang cukup jelas, sebuah indeks nama dan sebuah indeks analitis rinci membantu pembaca untuk menemukan persis apa yang dicarinya. Sastrapratedja tentu tidak hanya membicarakan Pancasila. Di antara sekian masalah yang dibicarakan ada, misalnya, ”etika ilmu pengetahuan“—yang menurut Sastrapratedja memuat lima prinsip: harus menghormati martabat manusia sebagai pribadi, berpegang pada prinsip ”tidak merugikan,” terarah pada kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat seluruhnya, pada pengurangan penderitaan, serta pada pemerataan hasil-hasilnya—, ”nasionalisme,“ ”jati diri manusia Indonesia,“ ”globalisasi“ dan tantangannya, pelbagai arti kata ”ideologi,“ ”etika politik,“ arti ”budaya politik,“ ”multikulturalisme,“ ”krisis modernitas“ sampai ”keamanan pangan“ sebagai tantangan etis.

 

.......

 

Satu muatan Pancasila yang diangkat oleh Sastrapratedja adalah bahwa ”Pancasila menjadikan kehidupan masyarakat dan negara lebih manusiawi.” Mempancasilakan Indonesia berarti membuat bangsa Indonesia hidup bersama dengan lebih manusiawi. Hal itu eksplisit dituntut dalam sila kedua, tetapi memancar ke semua sila. Lebih manusiawi berarti penolakan terhadap kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah. Pancasila mendorong untuk mengusahakan “penghalusan perasaan” dan “transformasi keagresifan” manusia Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa memanusiakan manusia dengan mengajak menghormati perbedaan, mengakui identitas semua warga dan komunitas masyarakat, dan dengan menjamin kebebasan beragama dan ”toleransi” terhadap kemajemukan. Menjunjung tinggi Pancasila membawa kewajiban untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Demokrasi membawa ”komitmen pada kesamaan.” Usaha mewujudkan keadilan sosial berakar dalam solidaritas.

Bahwa Pancasila merupakan suatu etika politik, menurut Sastrapratedja, tidak berarti bahwa Pancasila tidak menyangkut sikap etis manusia Indonesia masing-masing. Pancasila dapat menjadi etika politik apabila nilai-nilai Pancasila dihayati oleh masyarakat masing-masing. Sesuai dengan lima silanya karakter manusia Pancasilais ditandai oleh lima kemampuan: kemampuan untuk menghargai perbedaan, untuk membawa diri secara manusiawi dan santun, untuk mencintai tanah airnya, untuk bersikap demokratis, serta bersikap adil dan solider. Pendidikan Pancasila dengan demikian adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sikap-sikap Pancasilais itu.

Sesuatu yang masih dapat dimasukkan ke dalam edisi berikut buku ”Lima Gagasan…” adalah tanggapan terhadap pelbagai paham tentang Pancasila yang selama ini muncul di Indonesia. Ada sebuah koreksi kecil. Catatan Delanty, yang dikutip Sastrapratedja, yang mengatakan bahwa Ayatullah Khomeini dulu menyebarkan gagasannya lewat internet (hlm. 85) tentu keliru. Waktu Khomeini di Paris—dan sampai ia meninggal dunia—belum ada internet. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat, Driyarakra, Jakarta ).

Published
2014-04-14
How to Cite
Magnis-Susesno, F. (2014). M. Sastrapratedja, Lima Gagasan Yang Dapat Mengubah Indonesia, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013, 413 hlm. DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 13(1), 138-142. https://doi.org/10.36383/diskursus.v13i1.98