TY - JOUR AU - Sudiarja, Antonius PY - 1970/01/01 Y2 - 2024/03/28 TI - Fiona Woollard, Doing & Allowing Harm, New York: Oxford University Press, 2015, 239 hlm. JF - DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA JA - diskursus VL - 16 IS - 2 SE - Book Review DO - UR - https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/52 SP - 220-226 AB - Sejak Immanuel Kant, moral sering diartikan sebagai kewajiban yang berat. Dalam bukunya Doing & Allowing Harm ini, Fiona Woollard tampaknya ingin menolak pemahaman yang rigor. Ia tidak ingin buruburu menilai orang yang tidak menjalankan kewajiban sebagai teledor atau lalai, sebab dalam situasi konkrit, ada berbagai konteks berbeda, yang dalam etika Kant kurang diperhitungkan. Dalam hal ini Woollard membedakan disposisi antara melakukan (doing) dan membiarkan (allowing) terjadinya pencederaan (harming). Woollard hanya menyatakan bahwa melakukan pencederaan lebih sulit untuk dibenarkan daripada hanya membiarkan terjadinya pencederaan (hlm. 5). Artinya kedua tindakan itu tidak diposisikan secara berlawanan (hitam-putih) dalam suatu kerangka kewajiban moral, melainkan hanya gradual saja, khususnya dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian (harm) yang sering menjadi pertimbangan moral. Moral memang berkaitan dengan soal tindakan atau pun sikap, tetapi tindakan atau sikap ini bisa berarti aktif melakukan, mau pun pasif membiarkan. [] Dalam keseluruhan, Woollard, yang mengolah gagasannya dari Philippa Foot, Jonathan Bennett, Warren Quinn, Frances Kamm dan Jeff McMahan (hlm. 206), tidak bermaksud menghilangkan kewajiban moral dari kehidupan, tetapi mau memperlihatkan bahwa banyak situasi yang harus diperhitungkan untuk sampai pada suatu pemaksaan (imposition) yang dianggap wajar sebagai alasan moral. Perbedaan situasi-situasi ini juga membedakan disposisi setiap orang, sehingga tidak dimungkinkan kewajiban yang kiranya berlaku sama untuk semua. Woollard yakin ajaran melakukan dan membiarkan mencegah pemaksaan/ pembebanan yang tidak adil dan campur tangan pihak lain terhadap otonomi tubuh, tetapi tetap menjaga agar orang tidak membiarkan yang lain dicederai. Hal ini dapat membantu memberi pertimbangan konkrit dalam praktek moral. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan khusus  dari tubuh kita yang merupakan dakuan kepunyaan yang tak terbantahkan, sehingga setiap prinsip moral atau kode etik yang tidak mengakui tubuhku sebagai kepunyaanku tidak menghormati dan menghancurkan pandanganku mengenai diriku sendiri dan hubunganku dengan yang lain (hlm. 192). Namun tetap menjadi soal juga, apakah dalam hal ini tubuh bukannya lebih dari sekedar kepunyaan; apakah pertimbangan tubuh sebagai bagian dari diriku sebagai pelakusepenuhnya (full-fledged agency) justru tidak mengundang pertimbangan serius sebagai otoritas prima facie agar dalam mengambil keputusan mengenai apa yang terjadi atas tubuhku, juga lebih dari sekedar demi kepentingan dan kinginan-ku? Suatu hal yang masih kontroversial dalam pertimbangan moral. (A. Sudiarja, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) ER -