@article{Sastrapratedja_1, title={Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization and Exclusion, Translated by Eduardo Mendieta, Camilio Pérez Bustillo, Yolanda Anguilo, And Nelson, Maldonado-Torrws, Durham and London: Duke University Press, 2013. 715 hlm.}, volume={14}, url={https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/78}, DOI={10.36383/diskursus.v14i1.78}, abstractNote={<p>Enrique Dussel telah lama dikenal secara luas sebagai seorang filsuf dari Amerika Latin, yang memperkenalkan “filsafat pembebasan”. <em>Buku Ethics of Liberation </em>ini merupakan elaborasi gagasan sentralnya “pembebasan”. Dussel saat ini menjadi profesor filsafat di Universidad Autónoma Metropolitana, Iztapalapa dan di Universidad&nbsp; Nacional Autóma de México di Mexico City. Dalam karya ini ia mencoba mengatasi berbagai sistem&nbsp; etika yang berlatar belakang filsafat kontinental, yang ia sebut sebagai filsafat yang berbasis filsafat Yunani atau disebut juga&nbsp; “hellenosentrisme” atau&nbsp; “eropasentrisme. Filsafat dan sistem etika ini tidak memadai lagi untuk mendorong pembebasan korban peminggiran oleh globalisasi dan kapitalisme neo-liberal.</p> <p>Dussel mengawali bukunya sepanjang 715&nbsp; halaman ini dengan menyajikan uraian mengenai sistem etika dalam sejarah dunia, yang dipandang sebagai filsafat yang datang dari pinggiran, periferi. Dari sinilah Dussel mengembangkan etika dari perspektif korban yang tereksklusi.</p> <p>Pada Bagian I Dussel membahas “Fondasi Etika” (h. 53-186) yang terdiri dari tiga komponen. <em>Pertama</em>, etika material atau isi dari etika, yaitu reproduksi dan pengembangan kehidupan secara sadar. Dussel memulai uraiannya dengan pandangan antropologisnya, dimana digambarkan tingkat-tingkat kesatuan hidup manusia. Ia mengaitkan padangannya mengenai manusia dengan “neuroscience. Kemudian dibahas beberapa aliran dalam etikla material;, seperti utilitarianisme dan komunitarianisme (A. MacEntyre, Charles Tay;or, M. Walzer), konsep eudaimonis dari Aristoteles, <em>Sittlichkeit</em> dari Hegel, etika matrial dari Max Scheler, gagasan Xavier Zubiri.. Dari uraian yang sifatnya deskriptif itu, Dussel beranjak kepada perumusan universal, yang merupakan komponen&nbsp; <em>kedua</em>. Yang memberi pembenaran atas norma yang telah dirumuskan. Rumusan universal itu dicapai melalui suatu diskursus dari partisipan yang setara, dalam suatu komunitas komunikasi. Itulah syarat tercapainya kesahihan antarsubjektif. Yang dibahas Dussel adalah sistem etika Kant. John Rawls, Karel Otto-Apel dan J. Habermas. Tahap <em>ketiga </em>dibahas komponen kelayakan berhadapan dengan berbagai kendala.</p> <p>&nbsp;</p> <p>.............</p> <p>&nbsp;</p> <p>Buku <em>Ethics of Liberation</em> memuat uraian yang sangat kaya&nbsp; akan berbagai sistem etika , terutama sistem etika yang diajukan oleh berbagai filsuf kontemporer. Sistem itu tidak ditolak, tetapi harus dilengkap dengan sistem etika-kritis, yeng mendorong mereka yang menjadi korban untuk membebaskan diri. Untuk memperdalam analisisnya Dussel banyak mengacu kepada Marx, Sekolah Frankurt, Nietzsche dan Freud. Pandangan Freire mengenai dialog dan “raising consciousness” melengkap apa yang disebut “konsensus” dalam sistem etrika Habermasian. Dialog menjadi penting untuk membangun komunikasi dalam masyarakat yang asimetris. Ini diperkaya dengan pengalaman tumbuhnya kesadaran sebagaimana diuraikan oleh Rigoberto Menchú Sistem etika Emmanuel Levinas memberikan perspektif baru&nbsp; mengenai keharusan “pengakuan” (<em>recognition)</em> dan tanggung jawab terhadap yang lain.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Buku Dussel ini akan memperkaya pandangan para dosen etika, yang pada umumnya terpaku pada sistem etika “Eropasentris.” (M. Sastrapratedja, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)</p&gt;}, number={1}, journal={DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA}, author={Sastrapratedja, Michael}, year={1}, month={1}, pages={147-149} }