@article{Magnis-Suseno_2018, title={Alphonsus Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla, Yustinus (ed.) Mengabdi Tuhan dan Mencintai Liyan: Penghayatan Agama di Ruang Publik yang Plural Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang: STFT Widya Sasana 2017, 324 hal}, volume={17}, url={https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/188}, DOI={10.36383/diskursus.v17i1.188}, abstractNote={<p>Buku ketiga &nbsp;(suntingan Alphonsus Tjatur Raharso dan Paulinus Yan Olla 2017) memuat 20 makalah dari &nbsp;Hari &nbsp;Studi &nbsp;tahun 2017 STFT Widya Sasana. &nbsp;Tulisan-tulisan ini semua mengangkat, dari &nbsp;pelbagai segi&nbsp; dan dengan cara-cara yang &nbsp;berbeda, tantangan-tantangan bagi umat Katolik yang &nbsp;berasal dari &nbsp;kenyataan bahwa umat Katolik &nbsp;adalah minoritas kecil dalam suatu bangsa yang &nbsp;amat &nbsp;majemuk. Atau, &nbsp;lebih tepat, &nbsp;dari &nbsp;kenya- taan &nbsp;bahwa saat ini kebhinekaan dan &nbsp;toleransi mengalami “ujian &nbsp;berat.” Tulisan-tulisan ini dibagi tiga.</p> <p>&nbsp;</p> <p>.............................................................</p> <p>&nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> <p>Tiga tulisan terakhir kembali membahas kehadiran Gereja&nbsp; (Katolik) &nbsp;di ruang publik. Sesudah berfokus pada bagaimana Gereja dalam lima abad pertamanya memastikan identitasnya dalam lingkungan budaya yang asing,&nbsp; Antonius Denny Firmatno, dengan meloncat 1400 tahun, me- nunjuk bagaimana Gereja pasca &nbsp;Vatikan II makin sadar bahwa ia berada di&nbsp; ruang publik, maka &nbsp;bahwa sangat penting Gereja &nbsp;memperlihatkan diri &nbsp;sesuai &nbsp;dengan identitasnya yang &nbsp;sebenarnya. Raymundus I Made Sudhiarsa membahas kecenderungan berbahaya agama-gama, termasuk Gereja,&nbsp; untuk mau &nbsp;mengamankan identitas mereka dengan menutup diri &nbsp;terhadap dunia luar. &nbsp;Tulisan &nbsp;bagus &nbsp;dan &nbsp;mendalam ini membahas hal&nbsp; identitas dan &nbsp;“parokialisme” (suatu catatan: sebenarnya istilah “parokialisme” tidak &nbsp;mengenai sikap teologis-ideologis-fanatik dsb., me- lainkan mengenai keterbatasan wawasan “alami,” jadi barangkali lebih baik diganti dengan “ketertutupan” saja), mekanisme kambing hitam serta penolakan terhadap perbedaan, perlunya bergerak dari &nbsp;alienasi ke kola- borasi. Pius Pandor menutup kumpulan tulisan ini dengan berfokus pada patologi ruang publik yang cenderung mendorong agama-agama ke arah fundamentalisme dan &nbsp;pembenaran kekerasan daripada&nbsp; membangun dialog &nbsp;dan &nbsp;toleransi. Kekuatan buku ini adalah kekayaan dan &nbsp;komplek- sitas sudut-sudut yang terangkat dalam membahas tantangan-tantangan yang &nbsp;harus dihadapi Gereja &nbsp;sebagai partisipan di&nbsp; ruang publik, serta bahwa pembaca dirangsang untuk&nbsp; berpikir sendiri (Franz &nbsp;Magnis- Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).</p&gt;}, number={1}, journal={DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA}, author={Magnis-Suseno, Franz}, year={2018}, month={Apr.}, pages={143-144} }