@article{Magnis-Susesno_1, title={Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge, Mass./London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, 874 hlm.}, volume={12}, url={https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/124}, DOI={10.36383/diskursus.v12i1.124}, abstractNote={<p>Charles Taylor—yang lahir pada 1931 di Kanada—adalah salah seorang filosof kontemporer berbahasa Inggris paling terkenal. Ia menjadi guru besar di Montreal dan mengajar juga di Oxford. Hampir 20 tahun sesudah dua jilid bukunya, <em>Source</em><em>s</em><em>&nbsp;</em><em>o</em><em>f</em><em>&nbsp;</em><em>th</em><em>e</em><em>&nbsp;</em><em>Self</em><em>:</em><em>&nbsp;</em><em>Th</em><em>e</em><em>&nbsp;</em><em>Makin</em><em>g</em><em>&nbsp;</em><em>o</em><em>f</em><em>&nbsp;</em><em>Moder</em><em>n</em><em>&nbsp;</em><em>Iden</em><em>tit</em><em>y </em>(1989), memperoleh perhatian besar, Taylor menerbitkan buku <em>A</em><em>&nbsp;</em><em>Sec</em><em>ula</em><em>r</em><em>&nbsp;</em><em>Age</em>,&nbsp;sebuah&nbsp;karya&nbsp;lebih&nbsp;raksasa&nbsp;lagi,&nbsp;yang&nbsp;oleh&nbsp;Robert&nbsp;N.&nbsp;Bellah&nbsp;disebut “salah satu buku terpenting semasa hidup saya.” Buku ini menceritakan sejarah sekularisasi di Barat dan dengan demikian juga sejarah per- kembangan&nbsp;spiritualitas&nbsp;intelektual&nbsp;Barat&nbsp;dalam&nbsp;500&nbsp;tahun&nbsp;terakhir.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Yang langsung mengesankan adalah luasnya pengetahuan Taylor. Taylor akrab dengan seluruh filsafat dan pemikiran yang mengungkapkan intelektualitas Barat. Uraiannya, di satu pihak, menarik garis-garis besar, di lain pihak, memperlihatkan garis-garis itu dengan penelurusan rinci terhadap apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh intelektual, para filosof, teolog, sastrawan dan penyair. Yang juga menarik, Taylor memperlihatkan bagaimana “apa yang semula dipikirkan hanya oleh para elit, menjadi milik umum masyarakat-masyarakat seluruhnya” (hlm. 299).</p> <p>&nbsp;</p> <p>Perkembangan yang ditelusuri Taylor betul-betul mengherankan. Dalam pertanyaan Taylor: “Apa yang berubah antara tahun 1500 di mana hampir tidak mungkin orang tidak percaya (pada Allah), dan tahun 2000 di mana tidak hanya terdapat banyak orang ateis yang bahagia, melainkan sebaliknya di lingkungan-lingkungan tertentu iman menantang lagi sebagai aliran amat kuat?” Bagaimana Eropa Kekristenan Latin— kekristenan yang pernah memakai bahasa Latin di Eropa Tengah dan Barat, dunia yang sejak abad ke-16 terbagi dalam Katolik dan Protestan— menjadi Barat di mana “iman, bahkan bagi mereka yang yakin, hanya merupakan salah satu kemungkinan bagi manusia di antara banyak kemungkinan lain?” (hlm. 3).</p> <p>&nbsp;</p> <p>.............................</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kesimpulan dari uraian Taylor yang dapat ditarik adalah bahwa sekularisasi merupakan sebuah proses yang kompleks, yang menggagalkan segala penjelasan sederhana dan linear. Alam sosial tersekularisasi sendiri adalah kompleks. Di satu pihak, alam itu merupakan puncak humanisme eksklusif warisan Pencerahan, tetapi, di lain pihak, eksklusivisme itu ditantang oleh suatu “kelaparan spiritual” (hlm. 680) yang tetap terarah ke sesuatu di “seberang.” “Cerita dominan sekularisasi yang cenderung mempersalahkan agama-agama atas banyaknya kesusahan dunia kita lama-kelamaan akan semakin tidak dipercayai lagi” (hlm. 770). Namun, kalau agama mau mempertahankan diri maka wakil-wakilnya harus belajar menjadi rendah hati. Perlu ditambah bahwa Taylor sedikit pun tidak memasuki pertanyaan yang banyak dikemukakan di Indonesia dan dijawab secara berbeda-beda, yaitu, apakah perkembangan 500 tahun di dunia Kristianitas Latin (Katolik dan Protestan), jadi di “Barat,” dari dunia yang penuh dengan roh-roh dan di mana ateisme sepertinya mustahil menjadi sebuah dunia <em>humanism</em><em>e</em><em>&nbsp;</em><em>eksklusi</em><em>f</em><em>&nbsp;</em>di&nbsp;mana&nbsp;untuk&nbsp;sebagian&nbsp;makin besar warga kontemporer realitas Ilahi, realitas di “seberang,”&nbsp;dianggap tidak&nbsp;ada,&nbsp;atau&nbsp;sekurang-kurangnya tidak&nbsp;mempunyai&nbsp;fungsi&nbsp;atau&nbsp;hak normatif.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Buku Charles Taylor ini amat pantas dibaca dan betul-betul menantang. Kalau kita membacanya—yang tidak perlu secara tergesa-gesa—kita akan merasa mendapat wawasan yang luas, kita menjadi mengerti apa yang memotori modernitas. Buku ini betul-betul sebuah <em>maste</em><em>r</em><em>&nbsp;piece</em><em>. </em><em>(</em><strong><em>Franz </em></strong><strong><em>Magnis-Susen</em></strong><strong><em>o</em></strong><em>, G</em><em>ur</em><em>u</em><em> B</em><em>esa</em><em>r</em><em> E</em><em>meritus</em><em>, S</em><em>ekola</em><em>h</em><em>&nbsp;</em><em>Tingg</em><em>i</em><em>&nbsp;</em><em>Filsafa</em><em>t</em><em>&nbsp;</em><em>Driyarkara</em><em>,</em><em>&nbsp;</em><em>Jakarta</em><em>)</em>.</p&gt;}, number={1}, journal={DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA}, author={Magnis-Susesno, Franz}, year={1}, month={1}, pages={125-130} }