Paul Moses, The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam, and Francis of Assisi’s Mission of Peace, New York: Doubleday, 2009, 302 hlm.

John Tolan, Saint Francis and the Sultan: The Curious History of a Christian-Muslim Encounter, Oxford: Oxford University Press, 2009, xvi + 382 hlm. Frank M. Rega, St. Francis of Assisi and the Conversion of the Muslims, Rockford: Ill.: Tan Books, 2007, 125 hlm.

  • Martin Harun Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abstract

Perjumpaan Fransiskus Assisi dengan Sultan al-Kamil di tengah ko- baran perang salib akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari pel- bagai macam peneliti (Hoeberichts 1997; Warren 2003, Tolan 2007, Moses 2009). Yang terakhir, Paul Moses—seorang Guru Besar Jurnalistik di Brooklyn College, New York— melakukan investigasinya sendiri dan menulis suatu buku yang sangat menarik dan aktual, seperti yang boleh diharapkan dari seorang pakar komunikasi.

Landasan penting penelitian Moses adalah evaluasinya yang kritis terhadap sumber-sumber. Ia mengemukakan bahwa sumber-sumber tertua tentang peristiwa ini (Jacques de Vitry, dan sebuah kronik yang anonim, keduanya saksi mata perang salib kelima itu) memberi gambaran lebih damai tentang perjumpaan ini ketimbang riwayat-riwayat hidup Fransiskus yang kemudian (Celano, Bonaventura, dll.) yang menggambarkannya sebagai misi yang konfrontatif, berusaha mempertobatkan Sultan untuk mencari kemartiran.

Adalah Konsili Lateran IV (1215) dan Paus Innocentius III (1198-1216) serta penggantinya, Paus Honorius III, yang pada masa itu membangkitkan semangat untuk perang salib kelima guna merebut kembali Yerusalem yang belasan tahun sebelumnya direbut dari tangan penguasa Kristen oleh Salah ad-Din (Saladin), paman Sultan Malik al- Kamil. Kendati keluarga Sultan sudah memberitahukan bahwa Sultan bersedia menyerahkan kembali Yerusalem demi persetujuan damai, pihak Paus dan raja-raja Barat tetap mengobarkan semangat perang dan mengumpulkan pasukan. Menurut Moses, Fransiskus, dan saudara- saudaranya diharapkan oleh Gereja ikut mewartakan perang suci, tetapi ia memilih membawakan Injil ke seluruh Eropa, tidak terkecuali juga ke wilayah-wilayah Muslim.

Serangan pasukan salib ke Kesultanan Mesir dimulai dari kota pela- buhan Damietta di delta Sungai Nil. Tawaran damai Malik al-Kamil, Sultan Mesir yang dikenal bijaksana dan juga moderat terhadap umat Kristiani di Mesir, kembali ditolak oleh Kardinal Pelagius, utusan Paus dalam perang salib kelima ini. Fransiskus datang ke camp crusaders pada Agustus 1219 dan memberi peringatan kepada para crusaders bahwa serangan mereka akan gagal, tetapi ia ditertawakan. Lalu pada September 1219 ia memutuskan untuk mencari jalan lain dengan menyeberangi lini permusuhan dan mendatangi Sultan al-Malik, tidak sebagai utusan tetapi hanya dengan pengetahuan Kardinal Pelagius menggambarkan Sultan al-Kamil sebagai binatang buas.

Sebagai anak zamannya, Fransiskus ingin menciptakan damai dengan mewartakan Injil kepada Sultan. Hal itu tampaknya dilakukannya dengan cara yang khas, sebab dalam sumber tertua dikatakan bahwa Sultan mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan memperlakukan Fransiskus sebagai tamu terhormat selama beberapa hari. Menurut Moses, Sultan mungkin terharu bahwa ada orang Kristiani yang berbeda dengan para agresor rakus yang ia kenal dari perang salib. Al-Kamil yang dikenal terbuka untuk Sufisme mungkin juga suka mendengarkan Fransiskus, karena Fransiskus terkesan mirip dengan seorang Sufi. Di lain pihak, Fransiskus juga terkesan dengan apa yang ia lihat, misalnya cara pasukan Muslim menjawab panggilan untuk berdoa.

 

..............................................................

 

Kenyataan asli menurut Tolan ialah bahwa Fransiskus ingin menjalankan hidup rasuli sampai dengan mahkotanya, kemartiran, yang dapat ia peroleh dengan pergi mewartakan Injil kepada Sultan. Ini memang gam- baran yang jelas ada dalam biografi-biografi Celano dan Bonaventura, te- tapi tidak muncul dalam kronik-kronik lebih tua dan konteks hidup Fran- siskus sendiri. Kelemahan karya Tolan ialah bahwa ia kurang kembali kepada tulisan-tulisan Fransiskus sendiri dan riwayat hidupnya, seperti yang dilakukan secara mengesankan oleh Moses yang berhasil memper- lihatkan dalam konteks hidup Fransiskus suatu penolakan terhadap pe- rang, pewartaan damai, penghargaan terhadap praktik doa Islam, dan cara misi baru; yang semuanya harus dijadikan patokan untuk interpretasi per- jumpaan Fransiskus dengan Sultan. Tolan gagal melihat tema damai dalam riwayat hidup dan tulisan-tulisan Fransiskus itu, dan dengan demikian juga tidak mengakui adanya sesuatu yang inspiratif dalam peristiwa perjumpaan itu untuk hubungan Muslim–Kristiani masa sekarang.

Sebaliknya, ia agak keras menolak interpretasi sejumlah peneliti dan gerakan damai sejak akhir abad ke-20 yang melihat misi Fransiskus sebagai misi damai dan menemukan dalam Fransiskus suatu model untuk menolak kekerasan perang dan mencari pendekatan baru, khususnya dalam hal ketegangan antaragama. Kelemahan karya Tolan ini sangat tampak justru dalam perbandingan dengan karya Moses, yang tidak mendiskusikan Tolan sebab terlambat menerimanya.

Buku ketiga, St. Francis and the Conversion of the Muslims, karya Frank M. Rega, amat berbeda dengan kedua studi ilmiah di atas. Dengan tidak kritis sedikit pun, Rega menggabungkan semua yang bagus-bagus dalam pelbagai versi—dari kronik-kronik paling awal sampai ke legenda- legenda yang sangat kemudian—tentang perjumpaan Fransiskus dengan Sultan itu. Tanpa membedakan pelbagai versi dan bertanya tentang latarbelakang dan tujuan masing-masing, seperti dilakukan Tolan, Rega menciptakan suatu versi gabungan yang agaknya akan disukai oleh pembaca Katolik yang saleh dan konservatif (yang memang dilayani oleh penerbit Tan Books), tetapi tidak bernilai bagi seorang peneliti yang ingin menyingkapkan maksud Fransiskus sendiri dan sumber-sumber masing-masing; dan sangat mengecewakan pembaca kritis sekarang yang mencari ilham dalam adegan ini bagi masalah-masalah dunia sekarang. Cerita legendaris Rega yang penuh triumfantalisme yang hampir-hampir yakin bahwa Sultan bertobat dan dibaptis menjelang kematiannya, tentu lebih mengganggu hubungan Kristen dan Muslim sekarang daripada membantu menemukan suatu pendekatan baru. (Martin Harun, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)

Published
2010-10-11
How to Cite
Harun, M. (2010). Paul Moses, The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam, and Francis of Assisi’s Mission of Peace, New York: Doubleday, 2009, 302 hlm. : John Tolan, Saint Francis and the Sultan: The Curious History of a Christian-Muslim Encounter, Oxford: Oxford University Press, 2009, xvi + 382 hlm. Frank M. Rega, St. Francis of Assisi and the Conversion of the Muslims, Rockford: Ill.: Tan Books, 2007, 125 hlm . DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 9(2), 289-296. https://doi.org/10.36383/diskursus.v9i2.220