F. Budi Hardiman, Hak-hak asasi manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, 157 hlm.

  • Franz Magnis-Suseno Program Pascasarjana Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Abstract

Buku relatif kecil F. Budi Hardiman, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarta, di Jakarta, ini merupakan sumbangan penting bagi pustaka berbahasa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia. Bahkan, setahu peninjau buku ini, cara penulis mendekati hal hak-hak asasi manusia dalam pustaka berbahasa Jerman dan Inggris pun masih dicari.

Kekhasan buku ini adalah bahwa Budi Hardiman membahas hak-hak asasi manusia dengan mendiskusikan enam kontroversi paling utama di sekitarnya, yaitu (1) kritik Hannah Arendt terhadap klaim universalitas hak-hak asasi manusia dari sudut republikanisme; (2) polemik dari sudut teologi Islam; (3) tantangan dari sudut multikulturalisme; (4) hak-hak asasi manusia berhadapan dengan nilai-nilai Asia; (5) tuntutan agar deklarasi hak-hak asasi manusia dilengkapi oleh daftar kewajiban-kewajiban asasi; dan (6) pertanyaan mengapa dalam budaya-budaya Indonesia “peradaban hak-hak asasi manusia sulit terwujud.” Diskursus ini bukan hanya memiliki relevansi teoretis tinggi, tetapi juga langsung relevan di Indonesia.

 

Budi Hardiman bertolak dari tesis “bahwa ide, motif atau pun intensi dasar yg mendorong praksis hak-hak asasi manusia adalah ’tuntutan universal’ untuk melindungi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif dalam modernitas” (hlm. 18). Tesis ini langsung mengoreksi sebuah salah paham serius yang juga merancukan debat dalam BPUPKI pada Juli 1945: Bahwa hak-hak asasi manusia merupakan produk khas liberalisme untuk mengamankan kebebasan maksimal individu terhadap komunitas; jadi bahwa hak-hak asasi manusia merupakan wahana individualisme dan ekspresi sikap egois di mana individu seakan-akan hanya mau menjamin hak-haknya sendiri. Tetapi bukan itulah maksud inti hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan jawaban terhadap kondisi terancam dan terhina manusia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan raksasa modernitas. Hak-hak asasi manusia mau menjamin keutuhan mereka yang tidak berdaya untuk membela diri sendiri. Karena itu, pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi bukti dan tolok ukur tanggung jawab sosial dalam suatu masyarakat.

 

................

 

Faktor kelima adalah agama. Agama sebenarnya memiliki “intuisi kemanusian yang melampaui suku-suku dan bangsa” (hlm. 141), akan tetapi agama bisa juga membatasi intuisi itu pada warganya sendiri. Maka unsur kunci dalam tantangan hak-hak asasi manusia bagi teologi Islam yang dibahas dalam bab 2 adalah perluasan dari perspektif yang terbatas pada umatnya sendiri ke perspektif “manusia qua manusia” (hlm. 54).

Makin wawasan dibatasi pada syariah, loncatan itu kelihatan sulit. Tetapi loncatan itu harus berani dilakukan agar kesulitan Islami dengan beberapa hak asasi manusia, misalnya hak pergantian agama atau larangan terhadap hukuman kejam, dapat diatasi. Tantangan multikulturalisme: menjadi pertanyaan bagaimana kalau terjadi pertentangan antara kekhasan suatu budaya, biasanya budaya minoritas, dengan tuntutan hak asasi manusia dibahas dalam bab 3.

Buku Budi Hardiman ini perlu dibaca oleh semua yang prihatin dengan diskursus hak-hak asasi manusia di negara kita yang tetap masih klise dan sering kurang bermutu. Penegasan inti penulis, bahwa tujuan dan fungsi jaminan hak asasi manusia adalah perlindungan bagi mereka yang menderita, miskin dan tereksploitasi harus terus-menerus diangkat. Alih-alih jalan ke egoisme dan individualisme hak-hak asasi manusia merupakan bukti solidaritas suatu masyarakat dengan warga-warganya yang paling lemah. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Published
2012-04-16
How to Cite
Magnis-Susesno, F. (2012). F. Budi Hardiman, Hak-hak asasi manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, 157 hlm. DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA, 11(1), 123-128. https://doi.org/10.36383/diskursus.v11i1.161